Selasa, 05 Juli 2011

Pondok Wisata Aki & Enin












Pondok wisata Aki & Enin
jl. Curug cinulang km.5 desa Dampit Kec Cicalengka , Bandung

Menggali potensi wisata keluarga di kota Bandung, tepat untuk refreshing dengan temna mulih kadesa ]

Jumat, 02 Oktober 2009

all about strawbery


mba Tata Melintas Titian....ayo sapa mo ikut



panjat tebing juga siapa takut...



aku juga Beraniiiii....yey...



Nyante aja lagi...



Aksi Ku lebih menantang ...

Katumiri Part 2


naik delman...yo ama familyku dari Jambi...ikut ,ikut,ikut......



wah Bang yoga bergaya dikuda nih



Bang Ajie ama Kia..in action


Katumiri Part 1









Kota Fantasi BSM Bandung









BaLi ( Balonganj Indah )





Kumpul Dulur 2009






Selasa, 28 Juli 2009

Gadis Cilik











Makan Mie Hejo TANIKO
Pose di Caringin Tilu
Mengarahkan Anak

Dasar pertimbangan

1. Bahwa anak adalah karunia dan pemberian Allah Ta'ala. Dia Tabaraka wa Ta'ala berfirman, “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya.” (Asy-Syura: 49-50).

2. Bahwa anak adalah fitnah dan ujian Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya. Dia Tabaraka wa Ta'ala berfirman, “Dan Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28). Dan firmanNya, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15).

3. Bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya dan berkewajiban menjaga mereka dari api neraka. Allah Ta'ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6). Nabi saw bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dia pimpin. Seorang suami adalah pemimpin di dalam rumahnya (keluarganya), dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Begitu pula seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suami-nya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Wa inna li waladika ‘alaika haqqa, (Dan sesungguhnya anakmu mempunyai hak atasmu).”

4. Bahwa anak lahir di atas fitrah, selanjutnya bapak ibunya yang membentuknya menjadi ini dan itu. Sabda Nabi saw, “Tidak ada seorang anak kecuali dia lahir di atas fitrah lalu bapak ibunya menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi, seperti ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, adakah kalian melihatnya cacat.” Abu Hurairah berkata, “Bacalah firman Allah ini jika kalian berkenan, “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum: 30). Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

5. Bahwa setiap orang tua muslim berharap anaknya menjadi anak yang shalih. Para Ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha ar-Rahman) berdoa, "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati .” (Al-Furqan: 74). “Qurrata a’yun, penyenang hati, penenteram jiwa hanya terwujud dengan kebaikan dan keshalihan anak-anak, dari mana asalnya anak yang tidak shalih menenteramkan hati?

Ibrahim al-Khalil berdoa, “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shalih.” (Ash-Shaffat: 100) “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40).
Tetap mendirikan shalat merupakan tanda kebaikan.
Bapak dan anak (Ibrahim dan Ismail) berdoa, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepadaMu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepadaMu.” (Al-Baqarah: 128).
Patuh dan tunduk kepada Allah adalah wujud dari keshalihan.
Zakariya berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisiMu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha mendengar doa." (Ali Imran: 38).
Jika para nabi, para rasul dan orang-orang shalih berharap demikian, maka semestinya Anda juga demikian bahkan lebih patut kalau Anda adalah orang tua yang shalih.

Rambu-Rambu

1. Usaha dan upaya, itu yang dilakukan oleh orang tua dalam rangka mengarahkan anak sehingga diharapkan anak menjadi shalih, tentu upaya dan usaha ini harus dilaksanakan dan dilakukan dengan optimal dan maksimal, total dan habis-habisan, sebatas kemampuan dan daya yang dimiliki, setelah semua itu diupayakan dan diusahakan oleh orang tua maka selanjutnya perkara dan urusan diserahkan kepada Allah, karena Dia-lah pemberi taufik yang sebenarnya bukan orang tua, tanpa ini apa-lah arti upaya dan usaha orang tua. Jangankan orang tua yang manusia biasa, kapasitasnya bukan nabi dan bukan rasul, seorang rasul atau nabi pun terkadang tidak menjamin hidayah taufik bagi seseorang, Nuh alaihis salam, istri dan anaknya tidak sejalan dengannya, padahal segala upaya sudah dilaksanakan olehnya, Luth alaihis salam, istrinya sama dengan istri Nuh alahis salam dan Muhammad saw, beliau tidak berhasil mengislamkan pamannya Abu Thalib sekalipun beliau sudah berupaya dan berusaha. Apa hendak dikata, hidayah di tangan pemiliknya yaitu Allah Ta'ala. Jika hal ini dipahami dan dimengerti oleh orang tua, maka di samping upaya yang dia laksanakan, dia juga harus berkait dan bergantung kepada Allah Ta'ala, memohon dan berharap kepadanya agar Dia berkenan membimbing putra-putrinya menjadi anak-anak shalih dan shalihah. Upaya keras ditambah doa ulet kepadaNya mewujudkan harapan Anda pada anak-anak Anda.

2. Hindari doa tidak baik atas anak, karena hal itu bertentangan dengan harapan Anda, yang Anda harapkan sebagai orang tua adalah kebaikan bagi anak, lalu bagaimana bisa Anda malah mendoakan anak dengan yang tidak baik? Benar, biasanya hal ini terjadi pada saat kesal dan marah kepada anak, akan tetapi silakan kesal dan marah, lumrah dan manusiawi lebih-lebih jika kondisi menuntut demikian, namun kendali dan rem jiwa harus tetap pakem, tidak boleh blong, lidah harus diikat erat agar tidak meluncurkan doa-doa yang tidak baik atas anak, Anda tidak tahu bisa jadi doa tersebut bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa, akibatnya yang memetik buahnya adalah Anda sendiri, dalam kondisi itu hanya penyesalan, mendingan kalau masih diperbaiki, kalau tidak? Penulis tidak berharap.
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bahwa seorang laki-laki berkata, “Hai (unta)! Semoga Allah melaknatmu.” Lalu Rasulullah berkata, “Siapa yang melaknat untanya?” Dia berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Turunlah dari unta tersebut, janganlah engkau menyertakan kami dengan sesuatu yang terlaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian sendiri, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan untuk harta kalian. Jangan sampai kalian berdoa, bertepatan dengan saat di mana permohonan kepada Allah dikabulkan, sehingga permohonan kalian pun dikabulkan.”
Daripada Anda berdoa tidak baik atas anak, alangkah baiknya jika Anda membaliknya untuk meneladani Rasulullah saw yang mendoakan baik untuk anak-anaknya dan anak kaum muslimin.
“Ya Allah, sesungguhnya aku menyintainya maka cintailah dia.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk cucunya al-Hasan bin Ali sebagaiamana dalam shahih al-Bukhari.
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk al-Hasan dan Usamah bin Zaid sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari.
“Ya Allah, berikanlah keluarga Ja’far pengganti darinya dan berkahilah ‘Abdullah di dalam perniagaannya.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk Abdullah bin Ja’far sebagaimana dalam Musnad Iman Ahmad.
“Ya Allah, karuniakanlah kepadanya harta dan anak-anak dan berkahilah ia.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk Anas seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Rasulullah saw sebagai bapak mengungkapkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya dan anak-anak kaum muslimin melalui doa baik untuk mereka, dalam perkara kasih sayang kepada kaum muslimin secara umum dan kepada anak-anak beliau adalah nomor wahid, “Bil mukminina raufur rahim.” Demikian ayat 128 at-Taubah. berkata. Dari sini para orang tua meneladani beliau dengan hanya berdoa baik untuk anak-anak mereka. Semoga Allah mengabulkan.
Memulai dengan diri sendiri

“Ibda` bi nafsika.” Mulailah dari diri sendiri. Sudah menjadi sebuah aksioma, siapa yang hendak merubah atau mengarahkan orang lain, dia harus terlebih dahulu merubah diri sendiri atau mengarahkannya, jangan berharap anak menjadi baik jika Anda tidak memperbaiki diri sendiri, mana mungkin seorang anak menjadi anak shalih jika bapaknya tidak mendidiknya di atas keshalihan, mana mungkin bapak mendidiknya di atas keshalihan sementara dirinya sendiri bukan orang shalih? Pepatah Arab berkata, Faqidusy syay` i la yu’thi, orang yang tidak berpunya tidak memberi. Ya benar, apa yang hendak dia berikan sementara dia sendiri tidak memiliki? Kalau orang tua tidak memiliki keshalihan diri, mungkinkah dia akan menularkannya kepada anaknya? Sulit, ibarat berharap air dari api. Hampir mustahil kalau tidak mustahil, ibarat berharap buah anggur dari pohon berduri.

Dari sisi lain keshalihan orang tua dan perbuatan baiknya mempunyai pengaruh baik yang besar terhadap keshalihan anak, sebaliknya juga demikian, kebejatan dan perbuatan buruknya mempunyai pengaruh buruk yang besar terhadap anak. Tidak jarang balasan Allah kepada orang tua yang shalih terlihat pada diri anak, anak tumbuh sebagai anak yang condong kepada kebaikan, mendengar nasihat orang tua, tidak berulah buruk, mudah diarahkan dan dibimbing kepada kebaikan, rizki orang tua dilapangkan oleh Allah karena rizki orang tua juga merupakan rizki bagi anak. Sebaliknya bisa jadi balasan Allah kepada orang tua atas perbuatan buruknya terlihat pada diri anak, anak hidup menyukai kerusakan dan keburukan, memilih kawan bergaul dari anak-anak preman, bengal, nakal, memberontak terhadap orang tua.
Dalam surat al-Kahfi Allah Ta'ala menyebutkan kisah dinding yang hampir roboh yang ditegakkan kembali oleh Khadir dan Musa, ditegakkannya dinding tersebut dalam rangka menjaga harta dua anak yatim yang tersimpan di bawahnya, bapak dua anak yatim ini adalah orang shalih, harta tersebut dia raih dan dia kumpulkan dengan cara yang halal. Dalam kisah ini kita melihat balasan Allah kepada bapak yang shalih tercermin pada diri anak dalam bentuk penjagaan terhadap hartanya.

Allah Ta'ala berfirman tentang kisah ini,

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Al-Kahfi: 82).

Dari sisi berbeda, keshalihan orang tua merupakan pendidikan langsung darinya kepada anak, dengan itu orang tua memberikan keteladanan yang merupakan salah satu sarana pendidikan terbaik dan anak akan meneladani. Seorang anak yang melihat bapaknya berangkat ke masjid setiap mendengar adzan akan meneladani dan mengikuti apa yang dilakukan bapaknya tanpa harus disuruh atau diminta dengan alot, bandingkan misalnya dengan anak yang setiap adzan berkumandang, khususnya Maghrib dan Isya`, melihat orang tuanya asyik nongkrong di depan TV, acara TV lebih afdhal daripada panggilan adzan, adakah anak seperti ini bisa diharapkan hadir ke masjid sementara orang tuanya demikian?

Seorang anak gadis dengan ibu yang berhijab, rasa malu menyelimutinya, kelembutan menaunginya, menjaga diri dan kehormatannya akan belajar dari sang bunda hal yang sama, dia akan tumbuh sebagai gadis yang berhijab, pemalu, suci dan bersih. Bandingkan dengan gadis yang beribu seorang wanita yang selalu berhias dan bersolek untuk laki-laki mana saja, berjabat tangan dengan laki-laki mana saja, berciuman pipi dengan laki-laki mana saja, berhaha-hihi dengan si fulan dan si alan, duduk bersama mereka dengan gelak tawa dan hal-hal yang tidak patut bagi seorang muslimah, tentu si gadis akan belajar hal yang sama dari sang bunda.




Jangan melarang sesuatu sementara Anda melakukannya

Aib besar manakala Anda melarang anak melakukan perbuatan buruk tetapi justru Anda yang melakukan. Malu jika Anda melarang anak berdusta sedangkan Anda berkata kepadanya manakala seseorang mencari Anda dan pada saat itu Anda sedang di rumah, “Bilang kepadanya, bapak tidak ada.” Mana mungkin Anda mengajari anak menepati janji sedangkan janjimu kepadanya sering kamu langgar sendiri. Anda menekan anak untuk tidak merokok, tetapi justru Anda sendiri yang merokok, apa yang akan Anda jawab ketika dia menyela, “Mengapa saya tidak boleh merokok wahai ayah?” Adakah perbuatan ini bisa dinalar? “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44). Benar, tidakkah kamu berpikir?

Orang tua yang mengajarkan anaknya agar berbicara santun, lemah lembut dan sopan tetapi dia sendiri berteriak, memaki, mencaci dan berkata kasar adalah orang tua yang tidak berpikir.

Orang tua yang meminta anaknya untuk berbuat jujur di rumah, di sekolah dan di masyarakat, jujur kepada saudara, kepada ibu dan kepada bapak, jujur kepada guru dan kepada diri dengan tidak menyontek dan berbuat curang dalam ujian, jujur kepada siapa pun, namun dia sendiri bertindak curang, berbuat dusta dan tidak jujur adalah orang tua yang tidak berpikir.

Wahai pengajar orang lain Mengapa kamu tidak mengajar dirimu dulu Kamu menulis obat untuk orang sakit dan orang sulit Agar dia sehat, padahal kamu sendiri sakit Dan kami melihatmu terus memperbaiki akal kami dengan petuah Sementara kamu sendiri tidak mengindahkan petuah itu Mulailah dengan dirimu sendiri, cegahlah ia dari keburukan Jika kamu telah menghentikannya maka kamu bijaksana Pada saat itu apa yang kamu katakan diterima, Ucapanmu didengar dan ajaranmu berguna Jangan melarang sesuatu sementara kamu melakukannya
Aib bagimu, berat perkaranya jika kamu melakukan itu.

“Amat besar kebencian di sisi Allah manakala kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 3).




Memilih bibit unggul
Manakala seorang penanam hendak memulai kerjanya maka langkah awal ygdia lakukan adalah menyortir benih atau bibit, hal ini dia lakukan karena dia menyadari bahwa benih yang baik tumbuh lebih cepat, lebih kuat menghadapi kendala dan berbuah lebih cepat dan lebih baik, hal yang sama berlaku pada hewan, manakala seseorang hendak memilih seekor kuda andalan, salah satu pertimbangannya adalah induk atau pejantan di mana kuda tersebut berasal darinya.
Berharap anak yang baik tidak berbeda dengan penanam atau pemilih hewan andalan, langkah awal adalah memilih benih di mana ia merupakan cikal bakal atau memilih lahan di mana benih tersebut hendak ditanam, dia adalah suami atau istri. Seorang muslimah harus memastikan bahwa benih yang akan ditanam dalam ladangnya adalah benih orang baik. Seorang muslim harus pula memastikan bahwa lahan di mana dia hendak menanamkan benih padanya adalah lahan yang baik. Hal ini sangat penting karena ia merupakan dasar dari terbentuknya anak yang baik kelak.
Tidak ada kebaikan bagi seorang laki-laki dan seorang wanita selain agama, artinya seorang jika laki-laki atau seorang wanita adalah orang yang taat berpegang kepada agamanya maka dialah orang baik. Seorang laki-laki memilih istri dengan agama yang baik karena dia akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, anak-anak akan meniru dan mengambil akhlak dan tabiat. Hal yang sama bagi seorang wanita, dia memilih suami dengan agama yang baik karena dia akan menjadi payung bagi anak-anaknya. “Pilihlah wanita yang memiliki agama niscaya kamu akan beruntung.” Ini adalah wasiat Nabi saw kepada kaum laki-laki, dan tidak mengapa kalau wasiat ini kita balik, pilihlah laki-laki yang memilik agama…Karena laki-laki dengan agama yang baik berjodoh dengan wanita dengan agama yang baik pula.
Ada hal lain yang perlu menjadi pertimbangan di samping kebaikan agama dan akhlak yaitu keluarga laki-laki atau wanita yang akan menjadi bapak atau ibu bagi anak-anak kita, hal ini lebih menyempurnakan dan menggembirakan, karena bagaimana pun dan dalam batas-batas tertentu keluarga di mana istri atau suami berasal ikut berperan memberi andil pengaruh terhadap anak dalam kadar besar atau pun kecil.
Di satu sisi terkadang seorang anak terbetot kepada salah seorang kakeknya atau neneknya, yang dekat maupun yang jauh atau kepada pamannya atau bibinya atau kerabatnya yang lain, dekat maupun jauh, hal ini merupakan realita yang sulit dipungkiri.
Perhatikan ucapan kaum Maryam kepadanya manakala Maryam pulang dengan membawa seorang bayi padahal dia dikenal belum bersuami, ”Hai saudara perempuan Harun, ayahmu bukanlah seorang laki-laki jahat dan ibumu bukan seorang wanita pezina.” (Maryam: 28). Bagaimana kaum Maryam mengindukkan kebaikan kepada orang tua, bapak dan ibu. Jika bapakmu dan ibumu adalah orang baik, bukan orang jahat dan buruk, semestinya kamu seperti keduanya, bukan sebaliknya.

Perhatikan pula sabda Nabi saw kepada seorang laki-laki yang meragukan anak yang lahir dari istrinya hanya karena anak tersebut berkulit legam berbeda dengan dirinya, “Mungkin anakmu itu menyerupai nenek moyangnya.” Ini menetapkan bahwa seorang anak mungkin terbawa oleh leluhurnya dalam bentuk penciptaan, dan tidak menutup kemungkinan dalam tabiat dan perangai, bisa saja seorang anak tidak mendekati bapak ibunya dalam salah satu dari dua hal di atas atau dalam keduanya sekaligus, tetapi dia mendekati paman atau bibinya. Dari sini, jika keluarga suami atau istri adalah keluarga yang baik, bukankah yang akan menurun kepada anak adalah kebaikan juga? Ini di satu sisi.
Di sisi yang lain, kehidupan rumah tangga tidak independen atau tidak berdiri sendiri secara mutlak dari lingkup keluarga di mana suami atau istri berasal, keduanya tetap terikat dengan jalinan rahim dengan segala konsekuensinya, ketika keluarga suami adalah keluarga yang baik, maka pada saat tertentu suami bisa membawa anak-anaknya kepada keluarganya, di sana anak-anak akan mengambil kebaikan dari kakek nenek mereka atau dari paman dan bibi mereka atau dari sepupu-sepupu mereka, hal yang sama manakala keluarga istri adalah keluarga yang baik. Sebaliknya juga sebaliknya.

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيثَةً.

“Perumpamaan seorang teman yang shalih dan teman yang jelek hanyalah bagaikan seorang pedagang minyak wangi dan seorang pandai besi. Jika ia seorang pedagang minyak wangi, maka dia akan memberikan minyak itu kepadamu atau engkau yang membelinya atau engkau mendapatkan wangi harum darinya. Sedangkan jika ia seorang pandai besi, maka ia akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang tidak sedap darinya.”




Hadits ini menjelaskan pengaruh seorang kawan, siapa itu kawan? Dia adalah orang yang bergaul dengan kita, kita bertanya, siapakah yang paling sering dan paling dekat pergaulannya dengan kita? Tentu pasangan hidup kita. Bagi anak tentu bapak dan ibunya dan setelahnya adalah keluarga mereka berdua atau teman-teman mereka. Tentu kita berharap suami atau istri seperti tajir (pedagang) minyak wangi, paling tidak kita bisa menghirup aroma harumnya dan tentu saja kita tidak berharap sebaliknya, kita tidak ingin setiap saat harus menutup hidung gara-gara aroma tidak sedap pandai besi. Wallahu a'lam.

Kebersihan Anak


Islam adalah agama kebersihan, di dalamnya terdapat syariat mandi dan wudhu, di dalamnya terdapat kewajiban bersuci dari najas yang identik dan kotoran, Nabi saw menyatakan bahwa bersuci merupakan setengah dari iman, dari sini dan dalam konteks keluarga maka memperhatikan kebersihan anak, kebersihan baju dan badannya adalah sesuatu yang dianjurkan, disyariatkan dan didorong di dalam agama.


Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah, Allah berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” ( Al-A’raaf: 31-32). Memakai pakaian yang indah setiap datang ke masjid merupakan perhatian terhadap kebersihannya. Allah juga berfirman, “Dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 4)

Nabi bersabda:


إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ.

Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai segala yang indah.” (HR. Muslim).

Memperhatikan kebersihan anak-anak merupakan salah satu tanggung jawab orang tua, namun patut disayangkan manakala ada sebagian orang tua, bahkan di antara mereka ada yang mengerti agama malah justru melalaikan tanggung jawab ini, maka Anda bisa melihatnya membiarkan anak-anaknya berpakaian kotor dan lusuh, wajah mereka penuh dengan debu dan kotoran, rambutnya acak-acakan dan berkutu, bahkan terkadang badannya dikelilingi lalat, ludah menetes dari mulut mereka dan ingus merembes dari hidung mereka.

Semua ini jelas bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasulullah saw yang selalu mendorong untuk menjaga kebersihan. Rasulullah saw membersihkan ingus dan kotoran dari Usamah bin Zaid.


At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari hadits Ummul Mukminin ‘Aisyah dia berkata, “Nabi saw hendak membersihkan ingus Usamah, lalu ‘Aisyah berkata, ‘Tinggalkanlah, biarkanlah aku yang melakukannya!’ Rasul berkata, ‘Wahai ‘Aisyah! Cintailah ia karena sesungguhnya aku mencintainya.”

Di dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih lighairihi dari ‘Aisyah berkata,


عَثَرَ أُسَامَةُ بِعَتَبَةِ الْبَابِ فَشُجَّ فِيْ وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: أَمِيطِي عَنْهُ اْلأَذَى! فَقَذَّرْتُهُ فَجَعَلَ يَمُصُّ عَنْهُ الدَّمَ وَيَمُجُّهُ عَنْ وَجْهِهِ


Usamah terjatuh di ambang pintu dan wajahnya terluka, lalu Rasulullah saw berkata, ‘Hilangkanlah kotoran yang ada di wajahnya!’ Lalu aku merasa jijik, maka beliau menghisap darah dan memuntahkannya dari wajahnya.


Demikian pula yang dilakukan oleh Fathimah, puteri Rasulullah saw, dia membersihkan anaknya dan memandikannya.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah berkata, “Pada suatu hari Rasulullah pergi, beliau tidak berbicara kepadaku dan aku pun tidak berbicara kepada beliau, sehingga beliau sampai di pasar Bani Qainuqa. Kemudian beliau duduk di serambi rumah Fathimah, beliau berkata, ‘Apakah di sana ada si kecil?’ Maka ibunya menahannya beberapa saat, aku menduga dia sedang memakaikan kalung untuknya atau memandikannya, tidak lama kemudian dia datang dengan cepat, sehingga Rasul memeluknya dan menciumnya, beliau berkata, ‘Ya Allah, cintailah dia dan cintailah orang yang mencintainya.”


Sudah saatnya para orang tua memperhatikan salah satu ajaran agama mereka yaitu kebersihan khusunya kebersihan anak-anak, dengan kebersihan anak-anak yang merupakan para penerus Islam di masa datang akan menjadi sehat dan kuat, mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah. Wallahu a'lam.

Senin, 27 Juli 2009

Anak Laki-Laki Atau Perempuan ?

Anda sedang menantikan sang buah hati? Apakah Anda berharap laki-laki atau perempuan? Jika yang Anda tunggu adalah anak pertama maka biasanya Anda akan berkata, “Sama sajalah, laki-laki atau perempuan.” Namun jika yang Anda nantikan adalah anak kedua, maka harapan Anda biasanya tergantung kepada anak pertama, jika anak pertama laki-laki maka Anda berharap sang adik adalah perempuan, sebaliknya sebaliknya. Atau mungkin Anda sudah mempunyai sepasang dan sedang menantikan anak ketiga? Biasanya dalam kondisi ini Anda pasrah, “Terserah yang memberi, diberi laki-laki syukur, diberi perempuan alhamdulillah.” Lain perkara jika seluruh anak Anda adalah laki-laki atau sebaliknya perempuan, Anda mempunyai tiga anak atau empat, semuanya laki-laki atau sebaliknya semuanya perempuan, maka dalam kondisi ini anak yang Anda harapkan adalah anak yang belum Anda miliki.

Apa pun, laki-laki atau perempuan, perkara pertama kita mesti ingat dan sadari adalah bahwa anak merupakan pemberian dan karunia dari Allah Ta'ala, dalam hal ini kita tidak memiliki hak campur tangan sama sekali, Anda itu diberi, Anda penerima, Anda bukan penentu, perkaranya terserah kepada pemberi, terkadang Dia memberi laki-laki, terkadang perempuan. “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendakNya, dan dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.” (Asy-Syura: 49-50).
Bisa jadi Anda termasuk yang Allah kehendaki untuk diberi anak perempuan saja, atau yang Allah kehendaki untuk diberi anak laki-laki saja, atau yang Allah kehendaki untuk diberi anak laki-laki dan perempuan. Semuanya adalah baik, daripada yang terakhir, dijadikan olehNya termasuk yang tidak diberi, berat bukan?

Perkara kedua, manusia berpandangan pendek sedangkan Allah adalah pemilik hikmah yang mendalam, ia diketahui oleh siapa yang mengetahui, bisa jadi Allah memberinya anak laki-laki karena di situlah kebaikan terkandung baginya, atau sebaliknya, Allah memberinya anak perempuan karena kemaslahatan tersimpan padanya, kita tidak tahu siapakah yang lebih dekat manfaatnya kepada kita, anak laki-lakikah atau anak perempuan? “Orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.” (An-Nisa`: 11).

Pendeknya pandangan manusia, terkadang dia melihat sesuatu baik ternyata tidak baik, terkadang dia menyukai anak laki-laki ternyata dia tidak menghadirkan kebaikan kepada dirinya, atau sebaliknya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.” (Al-Baqarah: 216).

Kalau Anda menyukai anak laki-laki, sangat berharap mendapatkannya, berupaya dan berusaha melakukan trik-trik untuk menghadirkannya, maka tidak masalah, semoga keinginan Anda terwujud, tetapi bagaimana jika tidak? Ternyata yang nongol tuh anak perempuan. Nah, di sini inilah persoalannya. Kalau Anda hilang kendali, lupa daratan, lepas kontrol maka bisa-bisa Anda menolak dan tidak menerima anak perempuan yang diberikan kepada Anda, kalau begini bahaya urusannya. Coba bayangkan seorang anak laki-laki, calon anak yang menyusahkan dan menyengsarakan bapak ibunya, anak tipe ini ada di dalam al-Quran, renungkan kemungkinan anak laki-laki Anda seperti anak ini. Penulis sih tidak berharap dan yakin Anda juga tidak berharap, tapi perlu diingat kemungkinan sesempit apa pun selalu terbuka. Inilah anak yang bakal menyusahkan bapak ibunya, “Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang yang beriman dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al-Kahfi: 80).

Mau? kalau anak Anda mendorong Anda kepada kesesatan dan kekufuran. Atau coba bayangkan bagaimana sedihnya Nabi Nuh alaihis salam ketika anak laki-lakinya ternyata memilih kekufuran dibanding keimanan, sebagai bapak bisa Anda bayangkan betapa malunya Nabi Nuh alaihis salam, dia yang siang malam mengajak kaumnya kepada Allah, mengajak mereka kepada tauhid dengan cara rahasia dan terang-terangan, ternyata anak laki-laki termasuk di barisan pada penentang dakwahnya dan lebih tragis lagi mati di atas kekufuran, dan gara-gara anak laki-lakinya ini Nuh alaihis salam ditegur oleh Allah Ta'ala.

Bacalah kisahnya dalam firman Allah Ta'ala ini, “Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.’ Anaknya menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.’ Nuh berkata, ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah yang Maha penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 42-43).


Selanjutnya firman Allah Ta'ala,

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janjiMu itulah yang benar dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik, sebab itu janganlah kamu memohon kepadaKu sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.’ Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari memohon kepadaMu sesuatu yang aku tiada mengetahuinya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku dan tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi." (Hud: 45-47).

Anda tentu mengenal nabi-nabi, mereka adalah teladan. Ibrahim alaihis salam hanya diberi anak laki-laki, Ishaq dan Ismail, dalam usia yang tidak muda, tidak ada keterangan Ibrahim alahis salam mempunyai anak perempuan. Luth alaihis salam hanya diberi anak perempuan, maka dia berkata, "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu.” (Hud: 78). Muhammad saw diberi anak laki-laki dan perempuan, namun yang hidup sampai dewasa hanyalah anak-anak perempuan. Maka dari itu jadilah orang yang ridha, rela, nrimo ing pandum (menerima jatah), inysa Allah di sanalah kebaikan itu berada. Semoga Anda meyakini demikian. (Izzudin Karimi)

Anak Perempuan, Siapa Takut?

Penulis percaya Anda tidak takut, karena bisa jadi Anda termasuk orang-orang yang berpandangan bahwa anak laki-laki dengan anak perempuan adalah sama, atau Anda termasuk orang-orang yang menerima paket Allah Ta'ala sebagai sebuah anugerah besar, atau Anda memang tidak diberi anak perempuan, namun jika Anda termasuk orang-orang yang berharap anak laki-laki, bisa jadi karena anak-anak Anda perempuan semuanya atau memang Anda pengagum anak laki-laki, sehingga Anda pun berharap anak yang akan hadir berikut adalah anak laki-laki, dalam batas tertentu dan dengan kadar tertentu, ada perasaan takut, ada kekhawatiran, anak yang lahir tidak seperti yang diharapkan, “Jangan-jangan janin dalam istri saya ini perempuan.” Demikian mungkin kata hati Anda.

Penulis juga percaya bahwa Anda tidak separah orang-orang Jahiliyah di mana Allah Ta'ala berfirman tentang mereka,

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 59-60).

Atau kepercayaan penulis salah, tidak tertutup kemungkinan, karena terkadang dalam kondisi tertentu dan situasi khusus, sebagian ciri jahiliyah ini bisa bangkit kembali dari alam kuburnya. Apa pun semoga apa yang penulis catat berikut ini menenteramkan Anda manakala keinginan Anda tidak terkabul.

Penulis memperhatikan, ada dua alasan, ini menurut perhatian penulis bukan sebagai pembatasan atau harga mati, mengapa orang khawatir dengan anak perempuan. Pertama, karena dia tidak membawa nasab, dia memutus nasab, sebab nasab di bawa oleh anak laki-laki, anak laki-laki penyampung nasab. Kedua, menjaga, membesarkan dan mendidiknya lebih repot dan lebih susah, lebih memerlukan kehati-hatian, maklum anak perempuan, begitu kata orang, kalau anak laki-laki bisa diumbar, menjadi joko umbaran, tetapi tidak dengan anak perempuan.

Penulis akan memberikan ulasan tentang hal ini, secara umum dan secara khusus. Secara umum, penulis katakan bahwa:

  1. Anak adalah murni anugerah Allah yang menghendaki dia lahir sebagai anak perempuan, barangkali jika anak perempuan Anda tahu Anda kurang suka terhadap anak perempuan, dia pun anak memohon kepada Allah agar diciptakan sebagai laki-laki, namun hal itu juga bukan merupakan kekuasaannya.

  1. Tidak semua keinginan manusia itu terkabul, malah kadang-kadang kebaikan tersimpan pada keinginan yang tidak terkabul itu dan sebaliknya, tidak selamanya angin harus mengikuti ke mana perahu itu berlabuh, perkara ini juga telah penulis katakan sebelumnya. Siapa tahu Anda kurang suka terhadap anak perempuan “Perempuan lagi, perempuan lagi.” Begitu mungkin Anda berkata, entah di bibir atau di dalam hati, tetapi perlu Anda tahu bahwa di masyarakat kita ternyata anak perempuan lebih berguna bagi bapak ibu manakala keduanya berumur lanjut dan memerlukan perhatian, biasanya perhatian ini justru hadir dari anak perempuan.

  1. Kehidupan mencatat dan bukti terbaik dan terkuat adalah kehidupan, bahwa tidak sedikit wanita shalihah, mulia, taat, berakhlak luhur yang menjadi sebab kebahagiaan bapak ibunya. Lihat Maryam ibu Isa alaihis salam, wanita yang melahirkan seorang nabi besar. Lihat Fatimah putri Nabi saw, dari rahimnya lahir dua sayyid pemuda ahli surga, Hasan dan Husain. Lihat Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti ash-Shiddiq dan wanita-wanita lainnya yang memberi pengaruh demikian besar terhadap kehidupan.
  2. Anda tahu pahala besar yang tersimpan di balik mengasuh dan membesarkan anak perempuan? Ini yang mungkin membuat Anda khawatir mempunyai anak perempuan. Kalau demikian silakan Anda resapi hadits Nabi saw berikut: Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Seorang ibu bersama kedua puterinya datang kepadaku, ia meminta sesuatu kepadaku akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa di sisiku kecuali satu butir kurma, kemudian aku mem-berikannya dan dia pun mengambilnya dariku, lalu membaginya kepada kedua puterinya sedangkan dia sama sekali tidak makan. Setelah itu dia berdiri dan keluar bersama kedua puterinya. Lalu Nabi saw datang dan aku menceritakan peristiwa tersebut. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa diberi cobaan dengan anak-anak perempuan, lalu dia memperlakukan mereka dengan baik, maka anak perempuan itu menjadi tameng/tirai yang menghalangi dirinya dari Neraka.” Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw bersabda, “Siapa yang mengurus dua anak perempuan sampai keduanya baligh, maka dia akan datang pada hari Kiamat bersamaku (seperti ini).” beliau (Rasulullah saw) menggabungkan jari-jemarinya. Rasulullah saw menyatakan bahwa peluang terlindungi dari api neraka dan masuk surga datang dari anak perempuan bukan anak laki-laki.

  1. Kelahiran anak perempuan bisa menumbuhkan kerendahan hati kepada sesama dan tawadhu’ di hadapan Allah Ta'ala, hal ini akan meninggikan derajat Anda di hari Kiamat, sebaliknya bisa sebaliknya.

  1. Cobalah melihat kepada yang ada di bawah Anda, ini merupakan prinsip hidup dari Rasulullah saw yang membuat kehidupan seseorang tenang dan tenteram tanpa ada kehawatiran dan ketakutan. “Lihatlah kepada siapa yang ada di bawahmu dan jangan melihat siapa yang ada di atasmu, karena hal itu lebih membuatmu tidak mengecilkan nikmat Allah.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Jika Anda diberi anak perempuan maka orang lain tidak diberi sama sekali. Jika Anda diberi anak perempuan yang sehat dan lengkap, maka orang lain diberi anak yang cacat atau sakit-sakitan yang mengharuskan bapak ibunya wira-wiri, mondar-mandir mengetuk pintu rumah sakit ini dan itu, dokter ini dan itu. Bahkan nabiyullah Sulaiman alahis salam yang dianugerahi oleh Allah sebuah kerajaan yang tidak akan pernah dimiliki oleh siapa pun sesudahnya, hanya diberi setengah bayi.


Nabi saw bersabda, “Sulaiman bin Dawud berkata, ‘Sungguh, aku akan menggilir sembilan puluh isteriku pada malam ini, masing-masing akan melahirkan satu orang pejuang yang akan berjuang di jalan Allah.’ Lalu sahabatnya berkata, ‘Ucapkan insya Allah!’ tetapi beliau tidak mengucapkannya, akhirnya dia menggauli semua isterinya itu, dan tidak satu orang pun dari mereka hamil ke-cuali satu isteri saja yang melahirkan anak dengan wujud se-tengah manusia. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia mengucapkan, ‘Insya Allah,’ niscaya mereka semua akan (melahirkan) para pejuang yang berjuang di jalan Allah.” Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah.

Ini penjelasan secara umum, adapun penjelasannya secara khusus maka bisa dilanjut, semoga dengan ini Anda tidak lagi sempit dada, bersedih, menyesal dan marah hanya karena istri Anda melahirkan anak perempuan, semoga anak perempuan Anda membawa kebaikan dunia dan akhirat. Ucapkan segala puji bagi Allah, syukurilah nikmatNya, anugerahNya dan karuniaNya.


Ini adalah penjelasan khusus setelah sebelumnya penulis telah memberikan penjelasan umum, penjelasan khusus ini berupa ulasan terkait dengan alasan mengapa sebagian orang tidak atau kurang menyukai anak perempuan. Penulis telah mengira-ngira bahwa dalam hal ini ada dua alasan, pertama karena anak perempuan tidak membawa nasab, kedua karena membesarkan anak perempuan lebih sulit.

Sebelum penulis menguraikan dua alasan di atas, penulis ingin menyuguhkan sebuah kisah yang mempunyai keterkaitan dengan masalah kita ini. Kisah ini disebutkan dalam buku Bingkisan Istimewa Bagi Muslimah yang diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta.


Diceritakan ada seorang pemimpin bagi kaumnya yang dipanggil Abu Hamzah, dia menikahi seorang wanita dengan harapan mendapatkan anak laki-laki, akan tetapi anak yang lahir ternyata tidak seperti yang diharapkan, anaknya lahir perempuan, Abu Hamzah yang masih memegang kebiasaan sebagian bangsa Arab pada saat itu, kecewa berat terhadap anaknya, dia langsung meninggalkan rumah karena kekecewaannya yang sedemikian berat, dia tidak pulang.

Pada suatu hari dia melewati rumahnya, dia melihat istrinya bercanda dengan anak perempuannya, istrinya mengucapkan beberapa bait syair,


Apa yang menjadikan Abu Hamzah tidak datang kepada kami Dia selalu berada di rumah yang ada di samping kami Dia marah karena kami tidak melahirkan anak laki-laki Padahal kami tidak memiliki kehendak sedikit pun dalam hal ini Kami hanya mengambil apa yang diberikan kepada kami Dan kami ibarat bumi bagi siapa yang menanaminya
Kami tumbuhkan apa yang telah ditanam pada kami.


Begitu Abu Hamzah mendengar bait-bait ungkapan istrinya tersebut, dia langsung terpanggil oleh fitrah kasih sayang seorang suami sekaligus ayah, dia pulang dan mencium istri dan anaknya.


Pelajarannya, sekali pun seseorang itu tidak menyukai anaknya yang lahir karena jenis kelaminnya yang tidak sesuai dengan harapannya, namun dia tidak kuasa melawan seruan fitrah kasih sayang seorang bapak kepada anak yang bercokol demikian kuat dalam hati sanubarinya, sesaat mungkin dia kecewa namun tidak untuk seterusnya, kecuali jika fitrah yang bersangkutan telah mati.


Sekarang kita kembali kepada persoalan, menjawab dua alasan mengapa orang kurang respek dengan lahirnya anak perempuan. Pertama, karena anak perempuan tidak menyambung nasab. Kedua, membesarkannya lebih sulit.


Penulis katakan, apa ruginya seseorang jika namanya tidak dibawa oleh anaknya, bukankah seseorang itu bukan dengan namanya, bukan dengan nasabnya, akan tetapi dengan apa yang dilakukannya? Jika perbuatan seseorang itu lamban maka nasab tidak mempercepat. Apa artinya nasab dari Bani Hasyim jika perbuatannya adalah perbuatan Abu Lahab? Nabi saw sendiri tidak mempunyai anak yang membawa namanya, karena tiga anak laki-laki beliau wafat sewaktu masih kecil, anak beliau yang hidup sampai dewasa dan menikah adalah anak-anak perempuan, maka tidak seorang pun yang memiliki nasab “Fulan bin Muhammad bin Abdullah.” Benar Nabi saw mempunyai al-Hasan dan al-Husain, tetapi nasab keduanya adalah bin Ali bin Abu Thalib, bukan bin Muhammad bin Abdullah, sekali pun begitu beliau tidak risau, tidak kecewa dan tidak gunda gulana.


Di sisi lain, Anda boleh berbangga manakala nama Anda dibawa oleh anak atau cucu Anda, namun perlu Anda ingat bahwa hal itu kalau perbuatan anak atau cucu Anda tersebut adalah perbuatan mulia yang memang membanggakan, coba pikir jika sebaliknya, perbuatannya adalah perbuatan durhaka dan menyengsarakan, melakukan tindak tidak terpuji dan menjadi kriminil, sana-sini menyumpahinya dengan sumpah serapah, orang-orang mengutuknya dan mendoakannya tidak baik. Bagaimana? Anda masih berharap nama Anda dibawa oleh anak atau cucu yang demikian? Tidak dan seratus tidak, kalau bisa mungkin Anda berharap tidak melahirkannya ke bumi ini atau Anda berharap dia segera mati.

Yang kedua, alasan bahwa membesarkan anak perempuan lebih sulit. Penulis katakan, hal ini relatif, bukan merupakan harga mati yang tidak mungkin ditawar lagi, penulis mengenal beberapa orang tua yang justru mengeluhkan sulitnya membesarkan anak laki-laki, bahkan beberapa di antaranya harus menghadapi persoalan rumit dan cukup berat karena ulah anak laki-lakinya, penulis berkata demikian tidak berarti menafikan atau menutup mata terhadap kenyataan bahwa membesarkan anak perempuan juga tidak mudah, namun penulis tidak sependapat kalau dipastikan bahwa membesarkan anak perempuan lebih sulit, karena faktanya memang tidak demikian.


Alhasil, anak laki atau perempuan sama saja, yang penting adalah bagaimana membesarkan dan mendidiknya sehingga menjadi anak yang baik, berguna bagi agamanya. Amin.

Apa Namamu

Semoga bapak ibumu memberimu nama yang baik dari nama-nama kaum muslimin, nama-nama orang-orang shalih lagi mulia dari kalangan para nabi, para rasul dan sahabat-sahabat mereka, nama-nama yang mengandung makna lurus, memikul arti luhur, karena hal itu sudah menjadi hakmu atas bapak ibumu, di samping itu nama merupakan sebuah optimisme, merupakan sebuah harapan, bahkan nama yang baik merupakan indikasi awal sebuah kebaikan.

Anda boleh menyangkal dengan berkata, “Apalah arti sebuah nama?” Karena nama tidak secara otomatis membuat baik pemiliknya, berapa banyak orang yang bernama baik namun berkata dan bertindak tidak baik, berapa banyak orang yang hanya sekedar membawa nama sementara makna dari nama itu tidak terlihat dalam kehidupan, seseorang bernama Mahmud (yang dipuji), namun perbuatannya tidak terpuji, seseorang bernama Hasan (baik) namun tingkah polanya buruk.
Jika Anda menyangkal demikian maka hal itu tidak seratus persen keliru, karena memang perkaranya demikian, namun ia tidak bisa digeneralisasikan, tidak bisa digebyah-uyah, karena hal itu tidak terjadi pada semua orang akan tetapi pada sebagian orang saja, buktinya ada orang yang bernama Hasan, tingkahnya bagus, bahkan penampilannya juga bagus. Benar, sekedar nama tidak mengotomatiskan membuat pemiliknya baik, mulia dan berbudi, namun minimal, paling tidak, nama yang baik merupakan langkah awal yang baik dan jangan lupa banyak kebaikan terwujud dengan langkah awal yang baik. Apalagi jika Anda memperhatikan apa yang saya tulis berikut.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Said bin al-Musayyib dari bapaknya bahwa kakeknya datang kepada Nabi saw, beliau bertanya, “Apa namamu?” Dia menjawab, “Hazn.” –Hazn artinya susah dan sulit- Maka Nabi saw bersabda, “Kamu Sahal.” –Sahal artinya mudah- Maka dia berkata, “Aku tidak merubah nama yang diberikan bapakku kepadaku.”

Adakah akibat dari penolakan Hazn terhadap perubahan nama dari Rasulullah saw ini? Ternyata ada sebagaimana yang dikatakan oleh Said bin al-Musayyib sendiri sang cucu, “Kesulitan senantiasa menimpa kami.” Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 10/575, “Ad-Dawudi berkata, ‘Maksud Said adalah kesulitan dalam akhlak mereka.’ Selainnya berkata, ‘Said mengisyaratkan kepada kekerasan yang masih tersisa pada akhlak mereka, ahli nasab menyebutkan bahwa pada anak-anaknya terdapat keburukan akhlak yang sudah terkenal yang hampir tidak lepas dari mereka.”

Ini karena Hazn bersikukuh dengan namanya, akibatnya nama yang berarti sulit itu pun membawa kesulitan di kemudian hari. Coba seandainya Hazn menerima nama baru, Sahal yang berarti mudah, bisa jadi keadaannya akan menjadi musah sesuai dengan Sahal. Ternyata ada keterkaitan antara nama dengan pemiliknya.

Perhatikan lagi sabda Nabi saw,

Semoga Allah memberi keselamatan kepada (kabilah) Aslam, semoga Allah mengampuni (kabilah) Ghifar dan (kabilah) Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan rasulNya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Rasulullah saw menghubungkan nama Aslam yang berarti berserah diri, masuk ke dalam keselamatan, masuk ke dalam Islam dengan keselamatan, keselamatan memang sesuai dengan Aslam. Sedangkan Ghifar dihubungkan oleh Rasulullah saw dengan ghufran, ampunan, karena nama Ghifar memang sesuai dengan kandungannya. Lain halnya dengan Ushayyah yang berarti kedurhakaan dan kebengalan, Nabi saw menghubungkan nama ini dengan maknanya dan perkaranya memang demikian.

Nabi saw juga pernah bertafa`ul, merasa optimis dengan sebuah nama, pada perjanjian Hudaibiyah orang-orang musyrikin mengutus Suhail bin Amru sebagai juru runding, ketika Suhail datang Nabi saw bersabda, “Perkara kalian akan menjadi mudah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Di sini Nabi saw memprediksi kemudahan akan diraih oleh kaum muslimin ketika yang datang kepada mereka adalah seseorang yang membawa nama yang menunjukkan makna kemudahan dan yang terjadi adalah seperti yang dinyatakan oleh Nabi saw, pasca perjanjian ini segala urusan kaum muslimin berjalan lancar, sehingga perjanjian tersebut disebut dengan al-Fathu, kemenangan.

Ada satu hal lagi dari Amirul Mukmin Umar bin al-Khatthab bahwa dia berkata kepada seorang laki-laki, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Jamrah.” Umar bertanya, “Anak siapa?” Dia menjawab, “Bin Syihab.” Umar bertanya, “Dari marga apa?” Dia menjawab, “Dari al-Haraqah.” Umar bertanya, “Dari kabilah apa?” Dia menjawab, “Dari Bani Dhiram.” Umar bertanya, “Di mana tempat tinggalmu?” Dia menjawab, “Harrah.” Umar bertanya, “Di sebelah mana?” Dia menjawab, “Dzatu Lazha.” Maka Umar berkata, “Selamatkan keluargamu, mereka terbakar.” Yang terjadi seperti yang dikatakan oleh Umar.

Jamrah berarti bara api, Syihab berarti bongkahan api, al-Haraqah berarti kebakaran, Dhiram berarti api yang berkobar, Harrah berarti panas dan Dzatu Lazha berarti api yang menyala. Semua nama tersebut berkaitan dengan api, maka Umar memprediksi apa yang terjadi dari nama dan ternyata demikian.


Ini berarti bahwa “Apalah arti sebuah nama.” tidak selamanya benar, karena bagaimana pun nama dalam batas-batas tertentu dan dalam kadar-kadar tertentu memiliki keterkaitan dengan makna yang akan berpengaruh kepada pemiliknya, nama yang baik bisa menjadi awal yang baik, sedangkan nama sebaliknya –saya tidak berharap- bisa menjadi awal sebaliknya. Nanti saya akan kembali, insya Allah. (Izzudin Karimi)