Selasa, 28 Juli 2009

Mengarahkan Anak

Dasar pertimbangan

1. Bahwa anak adalah karunia dan pemberian Allah Ta'ala. Dia Tabaraka wa Ta'ala berfirman, “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya.” (Asy-Syura: 49-50).

2. Bahwa anak adalah fitnah dan ujian Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya. Dia Tabaraka wa Ta'ala berfirman, “Dan Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28). Dan firmanNya, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15).

3. Bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya dan berkewajiban menjaga mereka dari api neraka. Allah Ta'ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6). Nabi saw bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dia pimpin. Seorang suami adalah pemimpin di dalam rumahnya (keluarganya), dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Begitu pula seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suami-nya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Wa inna li waladika ‘alaika haqqa, (Dan sesungguhnya anakmu mempunyai hak atasmu).”

4. Bahwa anak lahir di atas fitrah, selanjutnya bapak ibunya yang membentuknya menjadi ini dan itu. Sabda Nabi saw, “Tidak ada seorang anak kecuali dia lahir di atas fitrah lalu bapak ibunya menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi, seperti ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, adakah kalian melihatnya cacat.” Abu Hurairah berkata, “Bacalah firman Allah ini jika kalian berkenan, “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum: 30). Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

5. Bahwa setiap orang tua muslim berharap anaknya menjadi anak yang shalih. Para Ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha ar-Rahman) berdoa, "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati .” (Al-Furqan: 74). “Qurrata a’yun, penyenang hati, penenteram jiwa hanya terwujud dengan kebaikan dan keshalihan anak-anak, dari mana asalnya anak yang tidak shalih menenteramkan hati?

Ibrahim al-Khalil berdoa, “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shalih.” (Ash-Shaffat: 100) “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40).
Tetap mendirikan shalat merupakan tanda kebaikan.
Bapak dan anak (Ibrahim dan Ismail) berdoa, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepadaMu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepadaMu.” (Al-Baqarah: 128).
Patuh dan tunduk kepada Allah adalah wujud dari keshalihan.
Zakariya berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisiMu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha mendengar doa." (Ali Imran: 38).
Jika para nabi, para rasul dan orang-orang shalih berharap demikian, maka semestinya Anda juga demikian bahkan lebih patut kalau Anda adalah orang tua yang shalih.

Rambu-Rambu

1. Usaha dan upaya, itu yang dilakukan oleh orang tua dalam rangka mengarahkan anak sehingga diharapkan anak menjadi shalih, tentu upaya dan usaha ini harus dilaksanakan dan dilakukan dengan optimal dan maksimal, total dan habis-habisan, sebatas kemampuan dan daya yang dimiliki, setelah semua itu diupayakan dan diusahakan oleh orang tua maka selanjutnya perkara dan urusan diserahkan kepada Allah, karena Dia-lah pemberi taufik yang sebenarnya bukan orang tua, tanpa ini apa-lah arti upaya dan usaha orang tua. Jangankan orang tua yang manusia biasa, kapasitasnya bukan nabi dan bukan rasul, seorang rasul atau nabi pun terkadang tidak menjamin hidayah taufik bagi seseorang, Nuh alaihis salam, istri dan anaknya tidak sejalan dengannya, padahal segala upaya sudah dilaksanakan olehnya, Luth alaihis salam, istrinya sama dengan istri Nuh alahis salam dan Muhammad saw, beliau tidak berhasil mengislamkan pamannya Abu Thalib sekalipun beliau sudah berupaya dan berusaha. Apa hendak dikata, hidayah di tangan pemiliknya yaitu Allah Ta'ala. Jika hal ini dipahami dan dimengerti oleh orang tua, maka di samping upaya yang dia laksanakan, dia juga harus berkait dan bergantung kepada Allah Ta'ala, memohon dan berharap kepadanya agar Dia berkenan membimbing putra-putrinya menjadi anak-anak shalih dan shalihah. Upaya keras ditambah doa ulet kepadaNya mewujudkan harapan Anda pada anak-anak Anda.

2. Hindari doa tidak baik atas anak, karena hal itu bertentangan dengan harapan Anda, yang Anda harapkan sebagai orang tua adalah kebaikan bagi anak, lalu bagaimana bisa Anda malah mendoakan anak dengan yang tidak baik? Benar, biasanya hal ini terjadi pada saat kesal dan marah kepada anak, akan tetapi silakan kesal dan marah, lumrah dan manusiawi lebih-lebih jika kondisi menuntut demikian, namun kendali dan rem jiwa harus tetap pakem, tidak boleh blong, lidah harus diikat erat agar tidak meluncurkan doa-doa yang tidak baik atas anak, Anda tidak tahu bisa jadi doa tersebut bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa, akibatnya yang memetik buahnya adalah Anda sendiri, dalam kondisi itu hanya penyesalan, mendingan kalau masih diperbaiki, kalau tidak? Penulis tidak berharap.
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bahwa seorang laki-laki berkata, “Hai (unta)! Semoga Allah melaknatmu.” Lalu Rasulullah berkata, “Siapa yang melaknat untanya?” Dia berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Turunlah dari unta tersebut, janganlah engkau menyertakan kami dengan sesuatu yang terlaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian sendiri, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan untuk harta kalian. Jangan sampai kalian berdoa, bertepatan dengan saat di mana permohonan kepada Allah dikabulkan, sehingga permohonan kalian pun dikabulkan.”
Daripada Anda berdoa tidak baik atas anak, alangkah baiknya jika Anda membaliknya untuk meneladani Rasulullah saw yang mendoakan baik untuk anak-anaknya dan anak kaum muslimin.
“Ya Allah, sesungguhnya aku menyintainya maka cintailah dia.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk cucunya al-Hasan bin Ali sebagaiamana dalam shahih al-Bukhari.
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk al-Hasan dan Usamah bin Zaid sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari.
“Ya Allah, berikanlah keluarga Ja’far pengganti darinya dan berkahilah ‘Abdullah di dalam perniagaannya.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk Abdullah bin Ja’far sebagaimana dalam Musnad Iman Ahmad.
“Ya Allah, karuniakanlah kepadanya harta dan anak-anak dan berkahilah ia.” Ini adalah doa Rasulullah saw untuk Anas seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Rasulullah saw sebagai bapak mengungkapkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya dan anak-anak kaum muslimin melalui doa baik untuk mereka, dalam perkara kasih sayang kepada kaum muslimin secara umum dan kepada anak-anak beliau adalah nomor wahid, “Bil mukminina raufur rahim.” Demikian ayat 128 at-Taubah. berkata. Dari sini para orang tua meneladani beliau dengan hanya berdoa baik untuk anak-anak mereka. Semoga Allah mengabulkan.
Memulai dengan diri sendiri

“Ibda` bi nafsika.” Mulailah dari diri sendiri. Sudah menjadi sebuah aksioma, siapa yang hendak merubah atau mengarahkan orang lain, dia harus terlebih dahulu merubah diri sendiri atau mengarahkannya, jangan berharap anak menjadi baik jika Anda tidak memperbaiki diri sendiri, mana mungkin seorang anak menjadi anak shalih jika bapaknya tidak mendidiknya di atas keshalihan, mana mungkin bapak mendidiknya di atas keshalihan sementara dirinya sendiri bukan orang shalih? Pepatah Arab berkata, Faqidusy syay` i la yu’thi, orang yang tidak berpunya tidak memberi. Ya benar, apa yang hendak dia berikan sementara dia sendiri tidak memiliki? Kalau orang tua tidak memiliki keshalihan diri, mungkinkah dia akan menularkannya kepada anaknya? Sulit, ibarat berharap air dari api. Hampir mustahil kalau tidak mustahil, ibarat berharap buah anggur dari pohon berduri.

Dari sisi lain keshalihan orang tua dan perbuatan baiknya mempunyai pengaruh baik yang besar terhadap keshalihan anak, sebaliknya juga demikian, kebejatan dan perbuatan buruknya mempunyai pengaruh buruk yang besar terhadap anak. Tidak jarang balasan Allah kepada orang tua yang shalih terlihat pada diri anak, anak tumbuh sebagai anak yang condong kepada kebaikan, mendengar nasihat orang tua, tidak berulah buruk, mudah diarahkan dan dibimbing kepada kebaikan, rizki orang tua dilapangkan oleh Allah karena rizki orang tua juga merupakan rizki bagi anak. Sebaliknya bisa jadi balasan Allah kepada orang tua atas perbuatan buruknya terlihat pada diri anak, anak hidup menyukai kerusakan dan keburukan, memilih kawan bergaul dari anak-anak preman, bengal, nakal, memberontak terhadap orang tua.
Dalam surat al-Kahfi Allah Ta'ala menyebutkan kisah dinding yang hampir roboh yang ditegakkan kembali oleh Khadir dan Musa, ditegakkannya dinding tersebut dalam rangka menjaga harta dua anak yatim yang tersimpan di bawahnya, bapak dua anak yatim ini adalah orang shalih, harta tersebut dia raih dan dia kumpulkan dengan cara yang halal. Dalam kisah ini kita melihat balasan Allah kepada bapak yang shalih tercermin pada diri anak dalam bentuk penjagaan terhadap hartanya.

Allah Ta'ala berfirman tentang kisah ini,

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Al-Kahfi: 82).

Dari sisi berbeda, keshalihan orang tua merupakan pendidikan langsung darinya kepada anak, dengan itu orang tua memberikan keteladanan yang merupakan salah satu sarana pendidikan terbaik dan anak akan meneladani. Seorang anak yang melihat bapaknya berangkat ke masjid setiap mendengar adzan akan meneladani dan mengikuti apa yang dilakukan bapaknya tanpa harus disuruh atau diminta dengan alot, bandingkan misalnya dengan anak yang setiap adzan berkumandang, khususnya Maghrib dan Isya`, melihat orang tuanya asyik nongkrong di depan TV, acara TV lebih afdhal daripada panggilan adzan, adakah anak seperti ini bisa diharapkan hadir ke masjid sementara orang tuanya demikian?

Seorang anak gadis dengan ibu yang berhijab, rasa malu menyelimutinya, kelembutan menaunginya, menjaga diri dan kehormatannya akan belajar dari sang bunda hal yang sama, dia akan tumbuh sebagai gadis yang berhijab, pemalu, suci dan bersih. Bandingkan dengan gadis yang beribu seorang wanita yang selalu berhias dan bersolek untuk laki-laki mana saja, berjabat tangan dengan laki-laki mana saja, berciuman pipi dengan laki-laki mana saja, berhaha-hihi dengan si fulan dan si alan, duduk bersama mereka dengan gelak tawa dan hal-hal yang tidak patut bagi seorang muslimah, tentu si gadis akan belajar hal yang sama dari sang bunda.




Jangan melarang sesuatu sementara Anda melakukannya

Aib besar manakala Anda melarang anak melakukan perbuatan buruk tetapi justru Anda yang melakukan. Malu jika Anda melarang anak berdusta sedangkan Anda berkata kepadanya manakala seseorang mencari Anda dan pada saat itu Anda sedang di rumah, “Bilang kepadanya, bapak tidak ada.” Mana mungkin Anda mengajari anak menepati janji sedangkan janjimu kepadanya sering kamu langgar sendiri. Anda menekan anak untuk tidak merokok, tetapi justru Anda sendiri yang merokok, apa yang akan Anda jawab ketika dia menyela, “Mengapa saya tidak boleh merokok wahai ayah?” Adakah perbuatan ini bisa dinalar? “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44). Benar, tidakkah kamu berpikir?

Orang tua yang mengajarkan anaknya agar berbicara santun, lemah lembut dan sopan tetapi dia sendiri berteriak, memaki, mencaci dan berkata kasar adalah orang tua yang tidak berpikir.

Orang tua yang meminta anaknya untuk berbuat jujur di rumah, di sekolah dan di masyarakat, jujur kepada saudara, kepada ibu dan kepada bapak, jujur kepada guru dan kepada diri dengan tidak menyontek dan berbuat curang dalam ujian, jujur kepada siapa pun, namun dia sendiri bertindak curang, berbuat dusta dan tidak jujur adalah orang tua yang tidak berpikir.

Wahai pengajar orang lain Mengapa kamu tidak mengajar dirimu dulu Kamu menulis obat untuk orang sakit dan orang sulit Agar dia sehat, padahal kamu sendiri sakit Dan kami melihatmu terus memperbaiki akal kami dengan petuah Sementara kamu sendiri tidak mengindahkan petuah itu Mulailah dengan dirimu sendiri, cegahlah ia dari keburukan Jika kamu telah menghentikannya maka kamu bijaksana Pada saat itu apa yang kamu katakan diterima, Ucapanmu didengar dan ajaranmu berguna Jangan melarang sesuatu sementara kamu melakukannya
Aib bagimu, berat perkaranya jika kamu melakukan itu.

“Amat besar kebencian di sisi Allah manakala kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 3).




Memilih bibit unggul
Manakala seorang penanam hendak memulai kerjanya maka langkah awal ygdia lakukan adalah menyortir benih atau bibit, hal ini dia lakukan karena dia menyadari bahwa benih yang baik tumbuh lebih cepat, lebih kuat menghadapi kendala dan berbuah lebih cepat dan lebih baik, hal yang sama berlaku pada hewan, manakala seseorang hendak memilih seekor kuda andalan, salah satu pertimbangannya adalah induk atau pejantan di mana kuda tersebut berasal darinya.
Berharap anak yang baik tidak berbeda dengan penanam atau pemilih hewan andalan, langkah awal adalah memilih benih di mana ia merupakan cikal bakal atau memilih lahan di mana benih tersebut hendak ditanam, dia adalah suami atau istri. Seorang muslimah harus memastikan bahwa benih yang akan ditanam dalam ladangnya adalah benih orang baik. Seorang muslim harus pula memastikan bahwa lahan di mana dia hendak menanamkan benih padanya adalah lahan yang baik. Hal ini sangat penting karena ia merupakan dasar dari terbentuknya anak yang baik kelak.
Tidak ada kebaikan bagi seorang laki-laki dan seorang wanita selain agama, artinya seorang jika laki-laki atau seorang wanita adalah orang yang taat berpegang kepada agamanya maka dialah orang baik. Seorang laki-laki memilih istri dengan agama yang baik karena dia akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, anak-anak akan meniru dan mengambil akhlak dan tabiat. Hal yang sama bagi seorang wanita, dia memilih suami dengan agama yang baik karena dia akan menjadi payung bagi anak-anaknya. “Pilihlah wanita yang memiliki agama niscaya kamu akan beruntung.” Ini adalah wasiat Nabi saw kepada kaum laki-laki, dan tidak mengapa kalau wasiat ini kita balik, pilihlah laki-laki yang memilik agama…Karena laki-laki dengan agama yang baik berjodoh dengan wanita dengan agama yang baik pula.
Ada hal lain yang perlu menjadi pertimbangan di samping kebaikan agama dan akhlak yaitu keluarga laki-laki atau wanita yang akan menjadi bapak atau ibu bagi anak-anak kita, hal ini lebih menyempurnakan dan menggembirakan, karena bagaimana pun dan dalam batas-batas tertentu keluarga di mana istri atau suami berasal ikut berperan memberi andil pengaruh terhadap anak dalam kadar besar atau pun kecil.
Di satu sisi terkadang seorang anak terbetot kepada salah seorang kakeknya atau neneknya, yang dekat maupun yang jauh atau kepada pamannya atau bibinya atau kerabatnya yang lain, dekat maupun jauh, hal ini merupakan realita yang sulit dipungkiri.
Perhatikan ucapan kaum Maryam kepadanya manakala Maryam pulang dengan membawa seorang bayi padahal dia dikenal belum bersuami, ”Hai saudara perempuan Harun, ayahmu bukanlah seorang laki-laki jahat dan ibumu bukan seorang wanita pezina.” (Maryam: 28). Bagaimana kaum Maryam mengindukkan kebaikan kepada orang tua, bapak dan ibu. Jika bapakmu dan ibumu adalah orang baik, bukan orang jahat dan buruk, semestinya kamu seperti keduanya, bukan sebaliknya.

Perhatikan pula sabda Nabi saw kepada seorang laki-laki yang meragukan anak yang lahir dari istrinya hanya karena anak tersebut berkulit legam berbeda dengan dirinya, “Mungkin anakmu itu menyerupai nenek moyangnya.” Ini menetapkan bahwa seorang anak mungkin terbawa oleh leluhurnya dalam bentuk penciptaan, dan tidak menutup kemungkinan dalam tabiat dan perangai, bisa saja seorang anak tidak mendekati bapak ibunya dalam salah satu dari dua hal di atas atau dalam keduanya sekaligus, tetapi dia mendekati paman atau bibinya. Dari sini, jika keluarga suami atau istri adalah keluarga yang baik, bukankah yang akan menurun kepada anak adalah kebaikan juga? Ini di satu sisi.
Di sisi yang lain, kehidupan rumah tangga tidak independen atau tidak berdiri sendiri secara mutlak dari lingkup keluarga di mana suami atau istri berasal, keduanya tetap terikat dengan jalinan rahim dengan segala konsekuensinya, ketika keluarga suami adalah keluarga yang baik, maka pada saat tertentu suami bisa membawa anak-anaknya kepada keluarganya, di sana anak-anak akan mengambil kebaikan dari kakek nenek mereka atau dari paman dan bibi mereka atau dari sepupu-sepupu mereka, hal yang sama manakala keluarga istri adalah keluarga yang baik. Sebaliknya juga sebaliknya.

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيثَةً.

“Perumpamaan seorang teman yang shalih dan teman yang jelek hanyalah bagaikan seorang pedagang minyak wangi dan seorang pandai besi. Jika ia seorang pedagang minyak wangi, maka dia akan memberikan minyak itu kepadamu atau engkau yang membelinya atau engkau mendapatkan wangi harum darinya. Sedangkan jika ia seorang pandai besi, maka ia akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang tidak sedap darinya.”




Hadits ini menjelaskan pengaruh seorang kawan, siapa itu kawan? Dia adalah orang yang bergaul dengan kita, kita bertanya, siapakah yang paling sering dan paling dekat pergaulannya dengan kita? Tentu pasangan hidup kita. Bagi anak tentu bapak dan ibunya dan setelahnya adalah keluarga mereka berdua atau teman-teman mereka. Tentu kita berharap suami atau istri seperti tajir (pedagang) minyak wangi, paling tidak kita bisa menghirup aroma harumnya dan tentu saja kita tidak berharap sebaliknya, kita tidak ingin setiap saat harus menutup hidung gara-gara aroma tidak sedap pandai besi. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar